Ziarah Keletihan Panjang -->
Cari Berita

Advertisement

Ziarah Keletihan Panjang

WAWASANews.com
Minggu, 21 Juli 2013
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ribuan Kitab PDF
Cerpen
Oleh Slem Reog

Sore ini hujan tak kunjung datang. Seperti biasanya, di waktu yang sama cahaya matahari yang sama, dan bersamaanya dengan adzan maghrib biasanya, hujan itu datang. Tetapi kali ini hujan benar-benar tidak datang. Sedangkan jendela kamar masih terbuka entah mengapa aku malas untuk menutupnya. Namun aku tetap mecoba untuk bangkit dari tempat dudukku menutup jendela itu sebelum kemarahan Ayah mengusik ketenangan. Sampai sekarang aku masih penasaran, beliau pasti marah jikalau aku terlupa menutup jendela. Hingga detik ini aku tidak tahu apa penyebabnya. Dan aku memang sengaja untuk tidak mau tahu. Itu hanya akan menambah beban pikiranku saja.
Sesaat sebelum kututup jendela itu tiba-tiba Fitri muncul sambil melempar senyumnya yang ramah padaku.
“Fatwa, apa aku boleh masuk ke kamarmu?” tanya Fitri seraya menatap kedua bola mataku yang cokelat.
Seketika pikiranku tertuju pada masalah yang sedang menggelutiku. Hanya Fitri satu-satunya sahabat yang tulus mendengar segala keluh kesah hidupku. Di saat matahari terbenam inilah waktu yang tepat untuk menceritakan penat yang menyayat hatiku.
“Emangnya kamu ngak mau sholat dulu? Kan udah adzan maghrib…”
“Aku lagi tidak bisa sholat Fat…”
“Oke…tapi masuk dari pintu depan ya...”
Aku memang takut menjalani hari di luar atau bahkan menyimpan masa depan. Karena bagiku masa depan adalah bayang-bayang yang sangat menakutkan. Bahkan hari ini bagiku adalah ketakutan yang mencekam dan menjijikkan. Dan jikalau sudah seperti ini  aku akan melayangkan imajinasi dan pikiranku jauh untuk mencari  jalan keluar  masalah yang diam seperti  tidak ada apa apa.
“Dasar masalah!” Gerutuku dalam hati.
“Fatwa kamu harus berani membuka masalah ini pada keluargamu” tegas sahabatku yang memiliki mata empat ini.
“Apa….? Menceritakan semuanya pada keluargaku?....” seruku sambil mengerutkan kening yang sudah basah daritadi oleh keringat.
“Iya, kamu jangan terlalu larut pada ketakutan dan bayang-bayang itu Fat…,” kata Fitri sambil memeluknya dari samping.
“Aku tidak bisa fit. Lagipula ini bukan masalah kecil ini masalah besar. Aku takut membayangkan hal yang terjadi jika Ayahku tahu masalah ini…,” ucapku pasrah.
“Tapi kamu harus memilih diantaranya. Sebelum semuanya terlambat. Semakin lama persoalan akan semakin rumit dan kamu tidak akan pernah mendapatkan jawabannya”.
Aku membisu mendengar ucapannya yang begitu mengancam. Sejenak pikiranku yang kosong membayangkan kembali kejadian yang akan atau sedang terjadi hari ini, apakah yang bernama esok dan seterusnya.
Di saat seperti ini aku lebih memilih untuk berdiam. Menikmati dunia kebisuanku. Sejenak aku merenung menepis keraguan itu. Aku bingung. perkataan Fitri mengandung kebenaran yang rumit.  Aku harus menentukan pilihan yang berat. Meskipun di antara pilihan yang dilontarkannya tak satu pun ada rasa yang menggoncang lidah pahitku ini. Namun apa daya aku harus segera memilihnya. Aku tidak mau terlalu jauh hidup dalam bayang-bayang ini.

***
Kecelakaan ini berawal dari sebuah pertemuan yang tidak sengaja. Pemuda itu bernama Sahril. Di sebuah perjalanan pulang dari pulau Cendrawasih, yakni Kalimantan. Saat itu ia duduk berdampingan denganku di dalam sebuah kapal. Kami hanya diam. Sesekali ada tatapan yang seakan menyapaku. Dan sesekali secara tidak sengaja angin laut yang sejuk mempertemukan tatapan kami. Tiga hari tiga malam bukan waktu yang singkat dalam perjalanan.
Yang paling mengherankan di hari pertama kami seperti sudah saling kenal. Di hari kedua perkenalan itu mendekati pendekatan hingga rasanya seperti sekental susu dengan aromanya yang manis.  Di sanalah awal dari beban di jiwa ini dan sekarang aku tidak tahu asal usul pemuda itu dan entah kapan angin akan mempertemukan kami kembali. Hari-hari yang kosong tanpanya membuat semuanya akan menjadi kenyataan yang sangat pahit. Dunia selamanya akan gelap bilamana itu terjadi. Serta kerinduanku terhadap hujan pun enggan menyirami hatiku yang sudah terbakar ini. Khususnya pada keluargaku. Aku malu. Aku takut. Sangat menjijikkan.

***
Hari-hari masih tetap sama. Memendung duka melempar bayangan-bayangan liar yang tersungkur pada nafasku. Begitu bodohnya aku, ketika aku membalas kedipan mata  lelaki itu. Atau mungkin sekarang ia sedang asik menjalani hari harinya. Sedangkan aku di sini digeluti ketakutan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku harus membongkar rahasia ini.  Aku tidak bisa terus menerus hidup dengan bayang bayang yang menjijikkan dan menakutkan. Namun aku bingung, batinku berderu seperti ombak dan suara petir yang bertalu di antara renungan renunganku, sedangkan batin ini menghantam perang dengan akal, hingga jauh mengembara pada lamunan yang tidak selalu berpangkal pada kenyataan yang benar.
Dan kini, aku lebih berani memilih hidup dalam kamar saja.  Menikmati kesunyian dan bayang bayang. Aku pun tak sadar akan lipatan-lipatan  waktu yang kujalani. Terkadang suara-suara bising keluargaku menyayat telingaku. Tanya demi tanya, mereka khususkan padaku dan, ketakutanku semakin mencekam oleh pertanyaan pertanyaan mereka. Aku hanya berani memilih untuk diam dan diam. Hingga akhirnya kenyataan yang akan menjawabnya. Ku pandangi jendela dan langit-langit kamarku seolah-olah mengajakku untuk menceritakan beban yang selama ini menjelma. Dan kusampaikan pada jendela dan langit-langit kamar bahkan pada bantalku. Dari Segala hayalan yang penderitaan yang menjelma pada kenyataanku, akhirnya semuanya berubah. Menjadi damai nyaman dan tentram seperti tak ada beban yang bertengger di pundakku.
Sekarang kesunyianku bukan lagi hanya sekedar puisi. Yang katanya merupakan hal yang paling rahasia, menyimpan arti sunyi. Kali ini hujan benar benar datang mencoba menawarkan ketenangan itu. Sedangkan jendela tak lagi terbuka. Serta ruang kamar yang petang dan kelam membuatku semakin asing. Aku tak mengenal diriku lagi, dan kakiku terpasung, perut semakin membusung menyimpan sebuah rahasia yang telah terbuka atau mungkin masih tertata rapih. Aku pun sudah tidak tahu. Sebab ketenangan adalah percakapan antara aku dan jendela yang mengintip hujan yang datang kali ini.
Hujan tak lagi menjadi ketenangan malam ini sebab tangisan bayi menggema menjadi suara- suara bising yang begitu asing. Sedangkan jendela telah tertutup kembali. Dan ketika pintu terbuka di sana aku melihat ada wajah tidak ramah menziarahiku. Tangisan bayi bercampur tawa tetap menggema menjadi irama pada kamar yang irama hujannya tak sampai, sebab jendelannya tidak terbuka. Sedangkan kakiku masih kaku terpasung di antara kayu dan  rantai. Aku seperti anak rusa yang kehilangan induknya, sekarat memerangi keadaan yang tak bersahabat.
Kini percakapan itu terhenti untuk sekian lama, tidak akan pernah tahu kapan ujungnya akan tiba. Hidup yang bertungku pada tangisan dan tawa. Perang antara batin dan kenyataan pahit. Atau mungkin kata penutup yang paling tepat untuk mengakhiri kalimat yang satu ini adalah Gila. Yang sama sekali bukan pilihanku bahkan kehamilan dan kelahiranku ini bukan kesengajaan yang disengaja. Kenyataan yang harus kuterima ini bernama takdir ataukah nasib yang tak berpangkal pada keadilan -kataku.
“Maafkan aku….”. Kututup jendela itu. Perlahan kurebahkan diri ini karena keletihan yang panjang.

Bandung, 29-30 Mei 2013

-------------------------------------------
Slem Reog, nama lain dari Slamet Riyadimahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater, lahir Desa Lesong Daya Batumarmar, Pamekasan,Madura, Jawa Timur, pada 12 Januari 1993. Kegiatan kesenian dan penulisan dimulai di pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan.Aktif di Sanggar Sastra Teater Kertas, Samba (Sastrawan Muda Banyuanyar). DPontianak, mendirikan kelompok Teater Laguna. Menulis puisi cerpen, karyanya pernah dibukukan antara lain:Sepasang Telaga Berkisah (2010)”Sore Di Tepi Kali (2012),Indonesia Dalam Titik 13, Antologi Bersama (2013)”. Beberapa karya pernah dimuat Pontianak Post, Radar Madura, blog-blog kolom sastra Majalah Al-Ikhwan, Oni, Orion, OThe Wall.
Jual Kacamata Minus

close
Jual Flashdisk Isi Ribuan Buku Islam PDF