Logos
Oleh M Abdullah Badri

Tanpa pikir panjang, demi
kandungannya, saya antar langsung istri ke Puskesmas terdekat untuk dirawat
inap. Ibu mertua jaga di malam harinya. Begitu juga saya. Malam itu adalah
malam tanpa kesibukan di depan laptop. Namun, capai yang saya rasakan, bukan main.
Istri saya tidak bisa tidur karena kondisi tubuhnya semalaman kian demam.
Begitu juga ibu mertua.
Semalaman juga tak bisa istirahat nyenyak, tak bisa pejamkan mata. Bukan karena
risau atas kondisi istri, namun karena hal lain yang akan saya tulis di esai
sederhana ini. Ibu mertua malam itu tak bisa mengontrol telinganya yang selalu
mendengar bunyi gergaji mesin, orang teriak di sana-sini, juga suara drum atau
batu beton yang seolah jatuh dari atas sebuah bukit ke dasar danau.
Tidak nyaman. Jam dua
malam ia keluar dari kamar VIP tempat istri dirawat. Jagongan dengan kerabat
pasien di kamar sebelah.
“Gak bisa tidur malam gini
kenapa, Bu?” Tanya seorang perempuan dari kamar sebelah.
“Saya dengar suara aneh
dari habis Isya’ tadi. Bau anyir kok ada di kamar juga. Saya kira karena bau
pakaian saya yang tidak mandi tadi pagi, tapi saya cium tak ada bau anyir
seperti bau kucing mati,”
“Saya juga sama bu. Aneh.
Saya juga dengar suara jeritan dan tembok runtuh dari jam 9 malam tadi.” Ujarnya.
Percakapan itu membuat
bulu kudu merinding. Ditelisik, kamar VIP istri ternyata hanya 1 meter dari kuburan Kristen. Tirai jendela kamar itu, jika Anda buka, dibaliknya ada kijing
kuburan khas pemakaman Kristen. Pohon kamboja juga nampak Anda jumpai di sana.
Berbundukan.
Saya tanya kepada sesepuh
setempat melalui tukang parkir Puskesmas, ternyata benar. Kamar VIP itu dulunya
adalah kuburan. Makam khusus umat Kristiani itu digusur untuk proyek pelebaran
Pusat Kesehatan Masyarakat tersebut. Artinya, istri saya ternyata tidur di atas
tanah yang dulunya adalah kuburan. Wa ladalah….!!
Inilah yang kata Kanjeng
Guru disebut sebagai nafsu kebinatangan manusia yang ternyata kurang arif
memperhatikan kepentingan orang yang sudah meninggal, walaupun kuburan itu
bukan makam orang Islam.
Kanjeng Guru selalu
mengingatkan bahwa orang yang sudah meninggal itu tidak mati. Yang mati hanya
tubuh biologisnya. Sedangkan jiwa dan ruhnya pindah ke alam yang orang hidup
pada umumnya tidak pernah ke sana. Karena
itulah, walau orang sudah meninggal, dalam tradisi umat Islam, selalu dibenarkan
adanya peringatan, atau haul. Saya menyebutnya sebagai “Merayakan Kematian”
(bagi para wali), atau “Peringatan Kematian” (bagi masyarakat umum).
Kematian dirayakan ketika
ada ibroh yang bisa dipetik dari si mayit yang sudah meninggal bahkan ratusan
tahun lalu. Manaqib misalnya, bagi saya, adalah bagian dari perayaan, bukan
sekadar peringatan. Sementara orang pada umumnya saya sebut peringatan karena
kematian si mayit, adalah titik balik mengingat tempat tinggal yang akan dihuni
kelak, tentang uang saku pahala, balasan amal, serta ganjaran yang kelak diterima
dari orang lain.
Semoga saja apa yang
didengar ibu mertua bukan siksa penghuni kubur. Tapi sekadar ibroh bahwa di
dalam sana, ada orang mati yang sebetulnya masih hidup dan sedang menerima apa
yang harus ia terima. Bahwa kita yang masih hidup tak selayaknya menganggu
kelangsungan proses mereka dengan Yang Maha Tahu di alam sana. Saya berdoa semoga
istri saya kalau sakit atau melahirkan nanti, tidak akan dirawat lagi di Puskesmas
Tapi Kuburan itu; Puskesmas Bakalan, Kalinyamatan, Jepara.
Post a Comment