Rumah ini Roboh, Tapi Terpaksa Dihuni. Ini Ceritanya! -->
Cari Berita

Advertisement

Rumah ini Roboh, Tapi Terpaksa Dihuni. Ini Ceritanya!

WAWASANews.com
Jumat, 26 Juni 2015
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ribuan Kitab PDF
WAWASANews.Com-Jepara
Adalah Mbah Ma’ruf (72) yang beberapa minggu terakhir rumah reyotnya didatangi oleh pejabat, aghniya’ dan masyarakat yang peduli. Waktu itu (Kamis, 25 Juni 2015), sekitar pukul 22.00 WIB, kami baru sampai ke lokasi rumah yang ramai dibincang di kalangan pengguna media sosial itu.

Gubug yang terletak di Desa Sowan Kidul Rt. 6 Rw. 4, Kec. Kedung,  Jepara Jawa Tengah tersebut, memang sudah tidak layak huni. Terbuat dari kayu, genteng mlorot, tiang bambu tak kelihatan karena ditimpa atap sudah roboh. Tinggi sekitar 1,5 meter. Masuk pintu harus menunduk karena harus menerobos seperti pintu goa. Malam tanpa penerangan kecuali lampu uplik. Jika Anda ingin masuk, siap selalu jika roboh mendakak. Ini foto rumahnya, diambil dari Facebook. 
Rumah Reyot Mbah Ma'ruf
Datang pertama, menjelang tengah malam, tanpa ada yang kami kenal, celingak-celinguk beberapa saat. Dari kejauhan, ada laki-laki tua dengan langkah kaki cepat datang ke arah kami menggunakan lampu sorot. “Nggih kulo Mbah Ma’ruf,” jawabnya.

Setelah kenalan dan salaman, tanpa pendahuluan, laki-laki asal Karangaji, Jepara itu langsung bercerita. Seakan-akan dia tahu maksud kami datang.

Kulo disanjangi tonggo ada tamu kalangan geng-geng (terhormat-terpelajar, red) mencari saya,” ungkapnya. Betul, kami tahu rumah Mbah Ma’ruf dari tetangga yang sedang ronda malam di daerah setempat.

Ceritanya, rumah itu dibangun Ma’ruf puluhan tahun lalu. Tidak tahu pasti tahun berapa. Di Desa Sowan Kidul, dia pendatang. Bersama istri keduanya, Nyai Alfiyah (71), Ma’ruf menggarap tanah lambiran sepanjang sungai. Katanya, waktu untuk menguruk tanah yang harusnya dijadikan sabuk hijau tersebut, tiga bulan. Ma’ruf sendiri menghabiskan dana senilai 12 gram emas untuk membuat agar sekitar sungai bisa ditempati.

Di Depan Rumah Gubug Itu
Dulu, kata Ma’ruf, tidak ada orang yang mau menempati wilayah tersebut karena memang tidak ada yang memiliki. Statusnya tanah kuasa negara, lambiran. Namun, karena kini penduduk bertambah, wilayah tersebut berdiri banyak rumah warga. Ma’ruf pun menjual separo bagian tanah yang ditempati itu kepada salah satu warga, inisial Z. Tanah itu dijual Ma’ruf karena secara kewargaan sudah dibagi-bagi oleh petinggi yang menjabat tiga periode silam sebelum petinggi sekarang, berinisial G.  

Separo lahan tersebut –ukuran tidak jelas, dibayar Z Rp. 2 juta. Kini, uang telah habis oleh Ma’ruf untuk kebutuhan madang (makan sehari-hari), sementara anak Z ingin membangun rumah yang telah dibeli dari Ma’ruf itu. Namun, karena lahan dirasa kurang cukup, tanah Ma’ruf diminta lagi, dibeli oleh Z utuh agar cukup untuk membangun rumah sesuai keinginan. Malam itu, Ma’ruf bercerita kalau sebelum bertemu dengan kami, ia berkumpul dengan beberapa warga bertemu Z membahas harga yang akan diberikan untuk separo tanahnya tersebut.

Setahun yang lalu, Ma’ruf tidak punya niatan untuk menjual tanah sejumput hasil garapannya tersebut. Hanya itu yang ia punya. Rumah itu pula yang ia miliki. Namun, karena merasa “diroyok”, sadar diri bukan pribumi kampung, ia terpaksa merelakan separo tanah tersebut dihargai Rp. 3,5 juta. Mengapa? Petinggi Sowan Kidul yang sekarang telah menjamin Ma’ruf diganti rugi tanah. Itu dilakukan setelah rumah reyotnya diberitakan oleh puluhan, bahkan ratusan ribu pengguna internet. Salah satunya Info Seputar Semarang.

Mbah Ma'ruf
Hasil penjualan tanah tersebut digunakan Ma’ruf untuk mendirikan rumah sederhana di tanah yang dijanjikan Petinggi. Lokasinya 100 meter ke Barat dari tanah terjual Ma’ruf. Persis di pintu masuk kuburan kampung, kiri jalan, pinggir sungai. Oleh Petinggi, Ma’ruf dijamin tanah dan diminta jadi penjaga kuburan, juru kunci. Lagi, Ma’ruf terpaksa menempati sepetak tanah lambiran. Panjang dan Lebar 12 langkah kaki Ma’ruf. Malam itu, dia sempat menghitungkan luas tanah tersebut kepada kami.

Rumah reyot itu kini sudah harus pamitan ke Ma’ruf. Satu dam pasir dari Bupati Jepara Ahmad Marzuki, satu dam batu kali dari sumbangan orang yang peduli, siap digunakan Ma’ruf untuk membuat pondasi rumah kayu yang, ceritanya, sudah dibelikan panitia rehab rumah senilai Rp. 9 juta.

Keinginan untuk ikut hidup bersama anak, bagi Ma’ruf, bukan menjadi solusi pertamanya lagi. Ia ingin jadi tukang penjaga kuburan saja, seperti amanat Petinggi Desa. Ma’ruf punya anak tunggal dari istri pertama, namanya Mudaqorinah, tinggal di Pakis, Pati, Jawa Tengah. Alfiyah, istri Ma’ruf, juga punya anak dari suami pertama, Hj. Sri namanya. Tinggal di Desa Ngabul, Tahunan, Jepara. Ngabul inilah yang disebut Ma’ruf akan dijadikan tempat tinggal jika ia “terusir” dari Desa Sowan Kidul.

Kami menunggu bisa ngopi di rumah baru Mbah Ma’ruf, depan kuburan itu. Bantuan dari pengguna media sosial, berguna buat orang kuno yang fanatik PPP ini, yang mengaku murid Mbah Hasan Mangli Magelang dan murid Mbah Asro Surodadi Jepara ini. Jika Anda ingin punya istri atau istri lagi, Mbah Ma’ruf siap berbagi resep bahagia.

Kami pun pulang, jam menunjuk tengah malam. Lama jagongan di depan rumah reyot itu, berdiri, berempat, salaman, tiba-tiba dari dalam gubug ada yang mengucapkan terima kasih. “Matur nuwun, nang!”

Dag Dig Dug…..Suara siapa?

Itu ternyata Mbah Alfiyah. Rumah itu masih dihuni betul. MasyaAllah!

Jagongan kami, didengar Mbah Alfiyah…..

Jika Anda ingin membantu, hubungi saja kontak email Redaksi WAWASANews.Com
___________________________ 
Tim:
Mustaqim, Badri, Yik Luqman 
Jual Kacamata Minus

close
Jual Flashdisk Isi Ribuan Buku Islam PDF