Logos
Oleh M Abdullah
Badri
Karena sudah dipastikan, maka, setiap kita
punya tabungan rejeki yang digariskan oleh Tuhan. Bagaimana Anda memandang
bagian rejeki yang sudah dipastikan bagiannya oleh Tuhan itu? Bagaimana cara
Anda mencairkan tabungan rejeki pasti dari Tuhan bila Anda percaya bahwa setiap
kita, hingga mati, tidak akan kehilangan rejeki?
Kanjeng guru mengatakan, ada dua cara kita
mendapatkan anugerah berupa rejeki. Pertama,
jalan kasab (bekerja). Kedua, jalan
hasab (tanpa diduga).
Yang pertama, cara yang ditempuh adalah
dengan metode akal. Artinya, setiap jengkal dan hitungan terkecil dari anugerah
rejeki yang diterima harus melewati akal sebagai wasilah. Cara kerjanya,
pikiran kita mengkalkulasi untung-rugi, mungkin-tidak mungkin, maju-mundur, dalam
setiap melihat jalan mencapai rejeki di hadapan mata.
Terbangun pula kecemasan menghadapi yang
ada di hadapan kita. Hati kita tidak akan pernah enteng untuk mengeluarkan apa
yang telah kita dapat, baik perkataan optimistis, uang, ataupun pengorbanan
lainnya kepada orang lain.
Untuk mengatakan bahwa kita punya bakat
kaya, alias rejeki melimpah, sungguh,
bukan perkara gampang dalam tempuhan jalan kasab ini. Keterbatasan akal pikiran
kita, dalam konteks ini, justru membelenggu keluasan imajinasi menuju pencairan
bank rejeki dari Tuhan.
Seorang karyawan misalnya, ada yang selamanya
tidak berkehendak mau menjadi bos. Alasannya simple, pikirannya mengatakan, dia
tak mungkinlah jadi pengusaha mengingat udu
(modal) dan segala yang dibutuhkan, nol besar, alias tidak ada.
Sebelum meninggal, setiap makhluk itu tidak
akan mengetahui sebatas mana bank rejeki yang telah Tuhan simpan untuknya
hingga mati. Tapi, karena “cupet pikir”, “cekak nalar” (sempit berpikir), dia
seakan sudah mentakdirkan diri “cukup segini”, “cukup sampai di sini”.
Bagi kanjeng guru, orang yang sudah menakdirkan
dirinya tidak mampu sebelum melakukan, sudah disebut menyekutukan Tuhan, alias
musyrik. Bagaimana tidak, dia sejak awal sudah sok tahu kalau tidak mampu. Ini
kebodohan berlipat (jahil murakkab)
yang perlu diperbaiki.
Kalau Anda mengatakan alasannya bukan sok
tahu tapi karena takut risiko, maka kanjeng guru akan membentak Anda dengan
mengatakan: itulah keterbatasan akal dan pikiran. Pikiran itu lebih
mengutamakan sebab-akibat daripada menelusuri sebuah sebab bisa muncul.
Seringkali kita lebih memperhatikan munculnya akibat daripada sebab. Ini yang
menjebak.
Cara pencairan rejeki dengan jalan kasab
ini sangat manusiawi. Nalar umum mengatakan, dengan bekerja, kita akan
mendapatkan uang. Padahal, secara hasabiyah
(nalar berhitung), setiap uang yang kita dapatkan, belum tentu jadi rejeki
kita.
Saya pernah mendapatkan keuntungan dari
sebuah penjualan produk. Begitu saya dapat, eh, ternyata di jalan, knalpot
motor saya tugel, toklek. Terpaksalah
harus dibengkelkan. Berapa uang yang saya keluarkan untuk memperbaikinya di
bengkel? Sebanyak keuntungan yang saya dapat itu. Kata kanjeng guru, keuntungan
saya bukan rejeki saya, tapi rejeki si empunya bengkel tersebut.
Bagaimana akal menerima bagian tidak
menyenangkan ini? Biasanya yang terjadi adalah nggrundhel, medongkol, emosi, seakan yang kita lakukan dalam jual
beli seperti contoh saya di atas, sia-sia. Akal sering menyalahkan sekitar.
Bahkan Tuhan. Padahal kita percaya, ATM rejeki kita ada pada-Nya.
Jalan kedua, yakni hasab, lebih nyaman.
Contoh: seorang pemuda beberapa waktu lalu wadul
(mengadu) kepada kanjeng guru karena dia akan melamar calon istrinya tapi
syarat untuk membeli cincin sebagai bukti serius menikah, belum mendapatkan
jalan. Dalam hati, pemuda itu yakin kalau memang dia akan menikah dengan gadisnya
itu, semua jalan rejeki akan terbuka tanpa terduga.
Benar nian, dua hari sebelum lamaran, ada
seseorang memesan barang dagangan milik tetangganya yang ia pasarkan lewat
internet. Kontan saja jalan menuju gadis itu terbuka karena pemesan langsung mengirim
uangnya puluhan juta tanpa tatap muka, tanpa ksepakatan hitam di atas putih,
dan mendapatkan untung.
Di mana peran akal? Kata kanjeng guru, akal
hanya bekerja di wilayah menuju kasab. Sementara hati, bekerja pasca wilayah
kasab terlaksana. Akal pemuda itu bekerja dalam mempromosikan barang dagangan
di internet. Sementara hasabnya, bekerja di wilayah tanpa terduga karena
kemantapan hati bahwa ia mampu mencairkan tabungan ATM yang telah diberikan
Tuhan. Pilih mana? Terserah Anda.
0 komentar: