Oleh Eko Wahyudi
Sebagaimana diatur di dalam Permenpan Nomor 16 tahun 2009, bahwa salah
satu syarat kenaikan pangkat dan golongan jabatan fungsional guru adalah
melaksanakan publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah merupakan bagian dari pengembangan
profesi berkelanjutan. Adapun kegiatannya berupa pertemuan ilmiah, menulis
buku, membuat laporan karya tulis ilmiah (KTI), dan menulis artikel ilmiah
populer. Kesemuanya harus dipublikasikan ke dalam jurnal dan atau media massa
cetak, baik tingkat nasional maupun lokal. Masing-masing mempunyai bobot poin
yang berbeda.
Pertimbangan dikeluarkannya Permenpan ini untukmenjawab “kenyamanan”
guru dalam meniti karir kepangkatannya. Setidaknya setiap dua tahun sekali guru
dipastikan naik pangkat dan golongan hingga terhenti di golongan IV a. Sebab
pada golongan IV a ke atas guru dituntut harus menulis karya ilmiah. Dengan
begitu, mau tidak mau guru wajib menulis.
Mengalkulasi antara jumlah guru, karya tulis yang dihasilkan, dan media
yang mempublikasikan sepertinya tidak setimbang.Maka persaingan publikasi
ilmiah antarguru demikian ketat. Media jurnal pendidikan saat ini hanya
diterbitkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang jumlah halaman maupun
frekuensi terbitnya terbatas. Sementara naskah yang terkirim ke meja redaksi
sudah bertumpuk. Maka, peluang publikasi ilmiah bagi guru menjadi kecil.
Hal itu senada dengan naskah-naskah karya ilmiah populer (rubrik opini) yang
terkirim di berbagai media massa. Ada ratusan naskah yang dikirim setiap
harinya. Dari jumlah tersebut hanya ada tiga naskah yang diterbitkan. Tentu
saja naskah-naskah tersebut sudah melalui seleksi yang sangat ketat. Pihak
redaksi umumnya mempertimbangkan kebaruan tema, substansi naskah, redaksional,
kelayakan baca, dan kredibilitas penulis. Pastinya tidak mungkin dalam sehari
diterbitkan naskah dengan latar belakang pendidikan semua.
Ketika naskah berhasil tayang pun, guru masih berhadapan dengan tata
aturan penilaian yang rumit. Tidak semua karya tulis ilmiah populer dapat
dinilai. Tulisan yang dapat dinilai jika berorientasi pada kompetensi
pembelajaran yang diampu. Pertanyaan selanjutnya adakah media cetak yang mau
mengakomodasi kepentingan tulisan guru yang dimaksud? Pengalaman penulis, semua
artikel yang diajukan pada penilaian angka kredit belum pernah ada yang
dinilai, kecuali satu kali,
yakni pada saat mengikuti seleksi guru berprestasi. Itu
pun karena berhadapan langsung dengan Tim Penilai saat tes wawancara.
Diharapkan setelah diberlakukannya aturan baru tentang kenaikan pangkat
dan golongan bagi guru pada 2013 nanti juga diikuti ketersediaan media jurnal
pendidikan.Tulisan ilmiah populer yang dipublikasikan di media massa juga
benar-benar mendapatkan perhatian hingga layak untuk dinilai.
Eko Wahyudi, S.Pd.,