Cerbung
Episode ke 55….
Oleh Sofi Muhammad
Hari
itu, Bu Sur menahanku agar tidak langsung pulang dulu. Ada yang penting,
katanya. Sementara itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Alamat
Arya sudah pasti bakalan ngambek lagi ini.
Di
saat aku sudah gelimpangan pikiran saking tak tenang, Bu Sur malah
mondar-mandir tidak jelas. Entah apa yang ada di otaknya. Seperti sedang
menunggu seseorang, tapi apa hubungannya denganku? Hah!
Beberapa
kali kulihat jam di layar HP. Malah cepat sekali jalannya itu. Tadi baru jam
lima sekarang kok sudah lebih seperempat. Arya, sedang apa kira-kira. Tak ada SMS atau juga telpon.
“Nunggu
siapa, Bu?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Hus,
diamlah,” jawab Bu Sur, “pusing ini!”
Pusing-pusing
saja sana, apa hubungannya juga denganku. Ah, benar-benar seenaknya sendiri itu
majikan. Jadi ingin segera keluar terus punya usaha sendiri. Tapi, kira-kira
usaha apa yang tak perlu memakai ijazah, juga KTP.
Lha
kok aku jadi kelihatan bodoh begini. Mau usaha saja tidak punya bayangan. Kalau
mau membuat kue terus disetor ke toko-toko, lha kok repot sekali kayaknya.
Kalau buka toko sendiri, dananya buanyak pasti. Terus, capek.
Coba
kalau bisa canggih mainin HP atau laptop, jadi tukang servis sekalian jual-beli
HP kayaknya enak. Kami nantinya kan bisa bangun agak siang, buka counter-nya
juga jam sembilan atau sepuluh.
Tapi,
kan aku tak bisa servis. Kalau cuma jual-beli laptop, tanpa bisa servis, biasanya
kurang laku. Bagaimana bisa tukar-tambah kalau aku tak bisa servis. Kalau
menggunakan tenaganya orang, wah, bisa sedikit nanti penghasilanku.
Arya
juga gitu sih, malah males kalau disuruh belajar. Padahal, di teknik komputer
jurusannya itu. Tapi, benar-benar tak bisa diharapkan. Lha kuliah saja tak
pernah masuk.
“Nah,
itu dia!” Bu Sur mengagetkanku.
“Siapa,
Bu?”
“Yang
mau mbuatin KTP buat kamu, Ras.”
KTP.
Ya
Tuhan!
Tak lama kemudian,
aku sudah disambut oleh seorang lelaki cungkring yang berpakaian KORPRI. Begitu
aku masuk ke ruang tamu, Bu Sur langsung saja memperkenalkanku.
“Itu
dia, Laras,” kata Bu Sur.
Hingga
sejauh itu pun, aku belum juga sempat mengabarkan apa pun pada Arya. Biar
kuberitahukan nanti saja kalau KTP-ku itu benar-benar sudah jadi. Dari pada
kuberitahukan nantinya malah tidak jadi.
Bahkan,
ketika pada malam harinya aku dan Arya pergi ke alun-alun pun, aku tetap belum
mengabarkan secuil pun berita mengenai KTP itu.
Sepanjang
perjalanan, kunikmati saja lampu-lampu hias di sepanjang jalur Kota Semarang yang
berkelap-kelip. Setibanya di tempat yang kami tuju, sudah benar-benar lupalah
aku.
Seperti
dugaanku, mataku ini pun disambut oleh bergerombol-gerombol anak-anak hingga
remaja yang memamerkan atraksinya dalam bersepatu roda. Jadi kepingin mencoba
tapi malulah, sudah tua.
“Cobalah,
Ras,” kata Arya, “dari pada ngidamnya nggak hilang-hilang.”
“Ha,
ha, pingin ngidam beneran aku, Arya.”
Aku
terdiam sejenak.
“Kalau
aku punya anak beneran bagaimana?”
Arya
gantian diam.
“Ya,
nggak papalah, Ras,” jawabnya.
Tapi,
nggak papanya dia itu sungguh meragukan. Apa dia mau gantian menggantikan popok
kalau misalnya aku sedang sakit. Atau, apakah dia mau gantian menggendong saat
ia menangis di malam-malam buta?!
“Persewaaan
sepatu roda di sini untungnya banyak pasti ya, Ar,” kataku mengalihkan
pembicaraan.
“Tak
tahu aku.
***
“Cepat
berangkat, cucian kotor sudah menunggu,” pesan Bu Sur itu sungguh membuat nafsu
makanku jadi menurun.
Semakin
lama, aku semakin tak betah juga bekerja jadi babu. Seburuk-buruknya ya
pekerjaan yang lebih baik punya stand
sendiri. Kalau malesku sedang kumat kan bisa beristirahat dulu.
Memang
perlu dibahas lebih lanjut itu. Tapi, kami mau usaha apa.
Sembari
berpikir, aku pun memandangi wajah ceria Arya ketika ia mencicipi nasi goreng
buatannya. Sesuai dengan janjinya, Arya bilang bahwa ia akan membuatkanku nasi
goreng lagi jika aku pulang kerja lebih awal.
Lha
itu. Kenapa tidak itu saja!
“Apa,
restoran?!”
Arya
terkaget ketika kuutarakan keinginanku yang itu.
“Iya,”
jawabku mantab, “masakanmu enak, Arya.”
“Tapi,”
dia masih belum ada bayangan dengan ideku itu.
Padahal,
jika ditelisik secara batin, aku yakin sekali jika masakan Arya itu pastinya
juga akan diterima oleh banyak pihak. Lha memang benar-benar enak kok. Meski
sekarang sudah jarang dipraktikkan pun nyatanya masih cukup lumayan.
“Aku
capek jadi babu terus,” tambahku.
Dia
belum terlalu banyak memberi respon. Malah hanya diam-diaman saja dan tidak
banyak memberi komentar apa pun.
“Arya,
lihatlah ini,” kataku kala ia sudah selesai mencuci piringnya.
“Waw,
ini beneran punyamu?” tanyanya setengah tak percaya.
“Cantik
nggak fotonya?”
“Ha,
ha, cantik banget.”
Bersambung
Episode ke 56….