Semarang-WAWASANews.com
Lucu: Wajah-wajah umang yang siap dijual |
Pekerjaannya
adalah berburu anak kecil. Kala lelah berburu, dipastikan tidak mendapatkan hasil.
Libas, 34 tahun, dialah sang pemburu anak kecil itu. Dari pasar ke pasar. Dari keramaian pindah ke keramaian berikutnya. Itu dilakukan Libas sejak tiga
tahun lalu menekuni profesi sebagai pedagang umang-umang, pong-pong, atau kuwuk
urip (Jawa).
Tapi
tidak sembarang tempat ramai ia datangi. Hanya yang banyak anak kecilnya ia
betah berlama-lama menggelar dagangan. Ya, umang-umang hanya hewan yang biasa
dibuat mainan anak kecil. Ada beberapa pelanggan Libas yang merupakan orang
dewasa, namun mereka membeli pong-pong bukan untuk mainan. “Ada yang
beli untuk hiasan meja kaca berpasir,” kata Libas kepada WAWASANews.com
di Pasar Pedurungan, Semarang, Minggu (14/07).
Cantik: istana keong si pong-pong |
Pada
hari Minggu, Libas biasa mendapatkan omset Rp. 400 ribu. Tergantung ramainya
pasar. “Kalau bulan puasa gini, rada sepi mas. Barangnya juga langka karena
para tukang somay, es krim dan penjual jajanan anak kecil beralih profesi sementara sebagai penjual umang-umang,” tuturnya.
Walau
sepi, Libas mengaku masih mendapatkan penghasilan kotor Rp. 260 ribu sehari.
Seminggu, dia biasa menghabiskan hewan bercangkang warna-warni cat dengan aneka gambar angry bird, ipin upin, casper,
bunga-bunga serta buah hingga 500-an biji. Per biji dijual Rp. 1.000 (kecil) dan
2.000 (besar). Dari harga tersebut, penghasilan Libas bisa mencapai 60-70
persen. Bayangkan, harga kulakan barang per-ekor-biji-nya Rp. 600. Artinya,
jika ia menjual Rp. 2.000, maka ia sudah untung 1.300 per ekor. Libas
menceritakan, ada seorang teman yang nekad jualan umang seperti dia ke
Kalimantan. “Di sana laku 5 ribu per ekor.”
Sehari
Libas bisa menghabiskan 100 ekor lebih. Terutama kalau ada momentum keramaian
tradisi seperti dugderan (Semarang), dandangan (Kudus). Libas mengaku pernah
mendapatkan omset Rp. 1,3 juta semalam dalam acara tradisi. “Saya muter-muter
terus, Mas. Pernah juga ke Pati, Kebumen, Cilacap, dan yang lain. Pas ada pasar
malam saya biasa dapat setengah juta sekali duduk,” terang pria asal
Tlogosari, Semarang ini.
Penghasilan
dari bisnis umang-umang tidak berhenti di situ. Libas justru mendapatkan hasil
tambahan yang lumayan banyak dari jualan rumah-rumahan pong-pong tersebut. Ia
menyebut sebagai istana keong. Fungsinya memang dijadikan sebagai rumah buat
keong sawah yang dijual Libas itu.
Dibantu
istri, ia membuat istana keong dari bahan sponefa yang ia beli dari kawasan
industri Kaligawe Semarang yang per kilo hanya Rp. 2.000. “Saya biasanya
membeli satu karung sponefa yang harganya paling 12 ribu. Bisa saya jadikan
ratusan istana keong,” aku bapak satu anak ini.
Sibuk: Libas dan pembeli di Pasar Pedurungan |
Dalam
sehari, dia bisa membangun istana keong hingga 30 buah. Yang kecil dijual ke
konsumen Rp. 2.000, sementara yang sedang Rp. 10.000. Ukuran besar ada yang
dijual Rp. 15.000 hingga Rp. 20.000. Bila ada pedagang lain yang beli
kepadanya, ia berikan harga separoh dari harga jual pasaran. “Teman jualan
umang-umang di Semarang ada 10-an orang, Mas. Semuanya ambil barang dari
pusatnya di Surabaya. Tapi untuk istana keong, mereka ambilnya rata-rata dari
saya,” ungkap Libas dengan senyum lebar.
Kini
Libas sedang menunggu kelahiran anak kedua-nya. Umang-umang telah menghidupinya
sejak tiga tahun lalu sengaja berhenti sebagai buruh dari salah satu perusahaan furniture di Semarang
yang hanya digaji Rp. 40.000 per hari. Dari keong sawah yang ia jajakan ke anak
kecil, Libas bisa mendapatkan 2-3 kali lipat gajinya selama jadi buruh. Anaknya hampir dua, tapi anak umangnya, ribuan. Bisnis yang menjanjikan dan
berpahala. Libas dapat untung, anak yang beli, bahagia. (Badri)