Oleh
T. Nugroho Angkasa S.Pd
Judul : Cyber Smart Parenting.
Penulis : Hellen Chou Pratama
Penyunting : James Yanuar
Penerbit : Visi Anugerah Indonesia
Cetakan : 1/ Oktober 2012
Tebal : 126 halaman
ISBN : 978-602-8073-73-8
Sebuah
riset mengungkap fakta mengejutkan. Jika pada 1940-an kenakalan anak yang marak
terjadi ialah mengunyah dan membuang permen karet sembarangan, bolos dan kabur
dari sekolah, serta tidak tertib menunggu giliran antri dan ribut sendiri, maka
sejak 1990-an kenakalan anak telah berubah menjadi masalah kecanduan obat,
alkohol, kehamilan pranikah, bunuh diri, pemerkosaan, perampokan hingga
pembunuhan (hlm. 75).
Hellen
Chou Pratama mengutip tesis mendiang Stephen Covey. Saat ini memang
meta-struktur (dataran) tempat keluarga berpijak dan membangun dirinya sedang
beringsut. Hal tersebut merupakan harga mahal yang harus dibayar oleh
masyarakat modern sebagai dampak perkembangan teknologi informasi di era
digital.
Akibatnya,
minim jaminan anak-anak bisa bebas dari ancaman budaya seksualisasi. Pada 2005
hasil studi New Hempspire menemukan bahwa 13% anak usia 10-17 tahun
mendapat undangan chatting berbau seks lewat internet. Para pemangsa di
dunia maya tersebut mengirimi anak-anak e-mail, surat, hadiah, uang dan
bahkan menelepon secara teratur. Ironisnya, hanya 25% anak menceritakan
kejadian tersebut kepada orang tuanya, sedangkan 75% lainnya tetap bungkam.
Adalah
Justin Berry (13 tahun), seorang anak berprestasi di sekolah. Pasca kedua orang
tuanya bercerai, Justin tinggal bersama sang ayah. Tapi karena kesibukan
ayahnya mengurus bisnis, Justin sering ditinggal sendirian dan dirundung
kesepian. Ia menjadikan komputer sebagai tempat pelarian. Lewat sarana
teknologi informasi tersebut, Justin bisa bertemu siapa saja di dunia virtual.
Secara
psikis, ia begitu merindukan kasih sayang seorang ayah. Saat berselancar di
jagat maya ia berkenalan dengan seorang pria dewasa yang sudi memberi perhatian
“seorang ayah”. Semula biasa saja, tapi perlahan orang dewasa tersebut mulai
menunjukkan maksud jahatnya. Justin secara tak sadar terjerat dalam aktivitas
seksual yang tak wajar. Enam tahun berselang, Justin telah menjadi seorang
pelacur video (camwhore) untuk situs porno (hlm. 73).
Menurut
penulis buku ini, masalah penderitaan emosional -berupa depresi, kesepian,
kekosongan hidup- dan siklus kecanduan karena terbentuknya lintasan baru di
syaraf otak yang tercipta karena sering menyaksikan materi seks, sangatlah
berbahaya. Riset pakar otak membuktikan bahwa dalam 3/10 detik gambar visual
yang ditangkap mata akan menembus memori otak.
Selain
itu, kecanduan pornografi tak mudah dikenali secara kasat mata. Karena tidak
ada zat yang dimasukkan ke dalam tubuh. Beda dengan narkoba. Kendati demikian,
tubuh tetap mengeluarkan cairan biokimia akibat hormon seksual yang terhubung
ke otak primitif memberikan reaksi otomatis terhadap stimulan visual. Pun
kecanduan seks dapat menyabotase seluruh kinerja otak orang yang bersangkutan
secara akut.
Berdasarkan
pengalaman menjadi narasumber seminar parenting, lulusan Magister Bidang
Konseling di STT Injili Indonesia, Jakarta ini memetakan aneka reaksi orang tua
dalam menyikapi tantangan teknologi internet di atas. Ada 3 kategori, yakni
menarik diri (Bubble Way), menyerahkan diri (EGP/Emang Gue Pikirin
Way) atau menerima dengan kritis (Smart Way).
Pada
2010 dalam seminar bagi orang tua di Bandung, penulis bertemu seorang ibu muda
yang dengan emosional menyatakan, “Saya tidak memberikan fasilitas komputer dan
internet kepada anak-anak saya dan saya memastikan tidak akan pernah
memberikannya!”. Ibu muda tersebut masuk kategori pertama. Padahal ibarat
gelembung udara (bubble) -entah karena pemberontakan dari dalam atau
tekanan dari luar– suatu saat pasti pecah.
Menurut
penulis, jenis orang tua semacam itu sebenarnya hidup dalam keyakinan semu dan
penyangkalan atas ketakutan-ketakutannya sendiri. Sikap ekstrim ini hanya
efektif untuk jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang justru berakibat
fatal. Karena mereka tak sempat melatih anak mengasah keterampilan agar
sensitif dan mampu menilai/memilah suatu perkara. Padahal wiweka dan sikap
kritis sangat penting untuk mengarungi samudera kehidupan nyata.
Lalu,
dalam salah satu sesi tanya-jawab di seminar orang tua, seorang bapak
menyampaikan opini, “Ibu, saya kira dalam era digital dan kecanggihan teknologi
sedemikian rupa kita tidak perlu merasa takut. Berikan saja ijin kepada
anak-anak kita untuk menggunakan semua gadget canggih. Menurut hemat kami,
zaman memang sudah berubah. Kalau kita mau anak-anak kita menjadi orang sukses,
mereka harus diberikan kebebasan untuk berinternet dan menggunakan teknologi
yang nyata-nyata membuat mereka canggih dan pintar. Saya sendiri tidak pernah
mengawasi anak-anak dalam berinternet…” Bapak tersebut masuk kategori kedua.
Orang tua EGP Way berpikir terlalu positif dalam menanggapi manfaat
teknologi.
Menurut
penulis, jenis orang tua semacam itu terlalu menyederhanakan masalah. Adalah
sebuah kecerobohan besar jika kita membiarkan anak-anak melayari dunia maya dan
menikmati semua yang disajikan. Orang tua wajib mempertimbangkan keterbatasan
anak untuk menilai dan membedakan, ataupun memperhitungkan bahaya sisi negatif
yang menyertai manfaat teknologi internet.
Selanjutnya
terkait kategori ketiga, penulis buku ini menceritakan pengalamannya sendiri
dalam mendidik anak dengan Smart Way. Tatkala hendak memberikan komputer
atau smartphone dengan akses internet kepada anak-anaknya, mereka harus
melewati sejumlah diskusi panjang. Lewat proses yang relatif melelahkan
disertai debat, protes, wajah manyun bahkan terkadang bantingan di pintu
kamar karena timbul ketidaksabaran menunggu fasilitas/kepercayaan yang
diberikan. Pada akhirnya, pasca memastikan nilai, aturan, bahaya, dan batasan
maka kesepakatan kedua belah pihak pun tercapai. Fasilitas/kepercayaan berupa
gadget dari orang tua bisa menjadi milik anak-anak (hlm. 31).
Buku
setebal 126 halaman ini menawarkan pendekatan cerdas mendidik anak di era
cyber. Isinya menuntut komitmen sepenuh hati dari para orang tua. Sebuah
referensi berharga untuk dapat merancang strategi pengasuhan efektif sesuai
tantangan zaman. Selamat membaca!
T.
Nugroho Angkasa S.Pd,
tinggal
di Yogyakarta