Oleh Junaidi Abdul Munif
Judul : Sufi “Ndeso” VS Wahabi Kota; Sebuah
Kisah Peseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis : Agus Sunyoto
Penerbit : Noura Books
Tebal :
286 halaman
No.
ISBN : 978-602-9498-59-2
Islam berkembang dengan
pesat. Ajaran tauhid yang menjadi ciri utama dari Islam, dengan mencoba
menegasi “tuhan” lainnya, mengalami banyak dinamika yang terus berkelindan
sepanjang zaman. Memurnikan tauhid inilah yang selama ini menjadi narasi
benturan kepercayaan antar-sekte Islam di Indonesia.
Judul buku ini terkesan provokatif,
dengan mendudukkan sufi ndeso secara binerik sebagai lawan wahabi kota.
Setidaknya itulah yang pada satu dasawarsa terakhir semakin menguat dalam
narasi besar (grand narrative) wacana keislaman di Indonesia. Oposisi
biner ini melanjutkan wacana tradisional-modern yang muncul sejak beberapa
dekade lalu.
Agus Sunyoto berhasil menyajikan data-data bahwa ketauhidan sebenarnya
bukan milik Islam an sich. Di bab awal, penulis menyajikan kisah
bagaimana Socrates, filsuf Yunani yang masyhur itu mesti menenggak racun akibat
mempertahankan tauhid. Dia menolak pandangan politeisme (banyak dewa) yang saat
itu dianut mayoritas kalangan elite Yunani.
Di Nusantara, jauh sebelum Islam menjadi
agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, telah ada agama kapitayan maupun
agama Hindu-Budha. Agama ini memiliki model tauhid yang bersesuaian dengan
Islam, kendati dengan nama atau istilah yang berbeda. Agama Kapitayan telah
eksis di Nusantara jauh sebelum kedatangan Islam, bahkan telah memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sudah maju, mengungguli apa yang dimiliki oleh
kaum Saracen Merchants (pedagang-pedagang Muslim).
Agama Kapitayan memiliki ritual untuk menyembah Sanghyang Taya,
Sesuatu yang Absolut, yang tak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya (tan kena
kinaya ngapa). Ritual Kapitayan inilah yang keliru dipahami oleh peneliti
Barat sebagai Animisme-Dinamisme, yang kemudian dipahami oleh gerakan Wahabi
sebagai biang kemusyrikan.
Seringkali kebudayaan Jawa dianggap
sebagai benih-benih kemusyrikan. Kepercayaan akan adanya hari baik, wuku,
dan watak-watak manusia yang dapat dibaca melalui hari kelahirannya, adalah
kepercayaan yang dapat menjauhkan dari tauhid. Padahal semua itu merupakan
tauhid yang dikemas dengan apik oleh orang Jawa dengan kebudayaannya.
Dalam dialektika antara Islam
tradisionalis dan modernis, tahlil dan haul (perayaan
memperingati hari kematian) adalah “titik konflik” yang selalu menghadirkan
perbedaan tajam. Tuduhan bahwa tahlil itu bid’ah, tidak memiliki
landasan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, sampai dugaan bahwa tahlil
merupakan warisan kebudayaan Hindu, dipatahkan oleh Agus Sunyoto dengan telak.
Tahlil bukan berasal dari budaya
Hindu, melainkan warisan dari tradisi Syi’ah yang dibawa oleh Muslim Campa.
Karena itu tuduhan bahwa tahlil itu sinkretisme Hindu-Islam adalah salah besar.
Karena dalam agama Hindu, tidak ada peringatan kematian pada hari 3, 7, 40,
100, 1000 dst. (hlm. 242).
Di kisah yang lain, dimana menghadirkan
dialog antara ustad salaf al-Sempruli tentang tibbun nabawi (pengobatan
metode Nabi) yang diyakini benar-benar dari Nabi Muhammad Saw. sehingga merasa
paling shahih. Namun keyakinan ini justru dapat menjadi bumerang manakala menganggap
metode pengobatan yang lain, seperti kedokteran, sebagai tidak shahih dan kepanjangan
tangan Yahudi. Apa yang diberikan keduanya semata-semata ikhtiar dalam
menemukan obat untuk menyebuhkan penyakit. Sedangkan Allah yang menentukan
apakah sakit itu bisa sembuh atau tidak.
Buku ini terkesan ringan, namun tetap saja menghadirkan data-data yang
menghentak. Seperti diungkapkan bagaimana jalur sa’i yang kini diperlebar. Dengan
mengutip fatwa dari Imam Nawawi, dapat menjadikan sa’i tidak sah. Ini mesti menjadi
peringatan bagi umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji.
Dalam tasawuf, ada beberapa kisah
(dialog) yang menjadikan buku ini mudah dicerna. Tasawuf sebagai usaha agar
lebih dekat dengan Allah, untuk mencapai makrifatullah, merupakan inti
ajaran Islam. Dalam tasawuf-lah tersiar kalau manusia hanyalah makhluk yang
lemah, tidak tahu apa yang diinginkan oleh Allah. Tasawuf dapat menjadikan
manusia untuk saling menghormati dan tidak mudah memvonis seseorang hanya
karena entitas yang tampak dari luar.
Beragama pada hakikatnya bukanlah
sekadar menampakkan apa yang tampak dari luar (syariat, ritual) melainkan jauh
menukik ke kedalaman kalbu umat beragama. Perbedaan yang ada dalam Islam mesti
disikapi dengan bijak. Saling menghormati aliran lain, seraya mempertanggungjawabkan
keyakinannya akan lebih dapat membawa kemaslahatan umat Islam di Indonesia.
Junaidi Abdul Munif,
penulis, tinggal di Semarang