Oleh Thomas Utomo
Judul : Gerwani
Penulis : Amurwani
Dwi Lestariningsih
Penerbit : Kompas
Media Nusantara
Cetakan : September
2011
Tebal : xxviii
+ 300 halaman
ISBN : 978-979-709-602-1
Gerwani—singkatan dari
Gerakan Wanita Indonesia—adalah organisasi wanita terbesar dalam sejarah
gerakan wanita di Indonesia. Pada mulanya, Gerwani berasal dari Gerwis,
kependekan dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar, yang didirikan 6 Juni 1950.
Tahun 1954, Gerwis berubah nama menjadi Gerwani. Perubahan nama itu juga
diiringi perubahan orientasi organisasi. Dari semula untuk
kepentingan-kepentingan sosial berubah menjadi organisasi yang memfokuskan diri
pada kepentingan politik. (hlm. 44).
Dalam perkembangan
selanjutnya, Gerwani banyak bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang saat itu sangat populer di kalangan rakyat. Hingga meletus tragedi 30
September 1965. Menyusul penangkapan para anggota PKI, para anggota Gerwani
juga turut ditangkapi aparat rezim Orde Baru karena dianggap sebagai organisasi
onderbouw PKI—meski kenyataannya
tidak demikian.
Harian Angkatan
Bersendjata, Berita Judha, dan Kompas menyebutkan bahwa Gerwani adalah
organisasi wanita yang bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan enam
jendral dan satu perwira menengah di Lubang Buaya. Koran-koran mempropagandakan
Gerwani dengan citra perempuan yang sama sekali bertentangan dengan segala
nilai wanita Indonesia. Berikut kutipan yang dapat menggambarkan suasana yang
diciptakan surat kabar pada saat itu,
“Dokter orang-orang
Gerwani yang dengan Gillette telah
memotong kemaluan jendral-jendral kita yang gagah berani di Lubang Buaya itu.
Seperti para pembaca tentu ingat, orang-orang Gerwani telah menari-nari dengan
telanjang bulat seperti orang-orang primitive
liar membunuh para pahlawan kita secara biadab.” (hlm. 74).
Kelak puluhan tahun
kemudian, penelitian Saskia Eleonora Wieringa menunjukkan, sebagai organisasi
wanita, Gerwani tidak terlibat dalam kudeta 1965; meskipun pada saat itu memang
benar Gerwani mempunyai hubungan dekat dengan PKI. (hlm. 67).
Para anggota Gerwani
yang ditangkap kemudian diisolasi di kamp tahanan politik khusus wanita di
Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Padahal sesungguhnya, sebagian dari mereaka
yang tertangkap hanyalah korban prasangka dan kecurigaan semata. Mereka sama
sekali bukan anggota organisasi itu.
Kehidupan para tahanan
politik wanita di Plantungan sarat dengan tindak kekerasan: fisik maupun
mental. Di sana mereka dijaga oleh para tentara yang semuanya laki-laki.
Pelecehaan seksual dan perkosaan tak jarang menimpa mereka. Beberapa di
antaranya bahkan sampai hamil dan melahirkan di kamp tahanan yang semula
merupakan rumah sakit bagi penderita lepra. (hlm. 227).
Salah satunya Nining,
tahanan politik yang kerap dimintai “jatah” oleh komandan kamp yang dijuluki
Raja Plantungan. Nining biasanya diajak pergi pada pagi hari dan tiba di kamp
malam hari. Setelah bepergian dengan komandan, Nining biasanya selalu makan
nanas yang diyakini manjur untuk mencegah kehamilan. (hlm. 230).
Di samping itu, semua
tahanan politik juga dikenai kewajiban kerja rutin di ladang atau di peternakan,
selain piket menyiapkan makanan bagi teman-teman tahanan politik lainnya. Para
tahanan politik juga diharuskan mengikuti pembinaan mental ideologi agar lepas
dari paham komunis yang dinyatakan terlarang oleh pemerintah. Untuk keperluan
itu, Kodam VII/Diponegoro bekerja sama dengan Departemen Agama dan Kehakiman.
Materi pembinaan ideologi yang disampaikan petugas rohaniawan menggunakan
metode ceramah yang selalu menakut-nakuti tentang surge dan neraka serta selalu
mengatakan bahwa tahanan politik itu ateis.
“Kami semua ya
beragama. Meski selalu dituduh ‘PKI ateis’, kami semua ya beribadah. Meski ada
yang menuduh, lho kan itu setelah peristiwa, tapi nyatanya nggak, wong di dalam
(Kamp Plantungan) ada yang ngaji sudah bagus-bagus, tidak mungkin mendadak begitu.”
(hlm. 243).
Pada tahun 1977,
pemerintah mulai melakukan pembebasan terhadap tahanan politik wanita
Plantungan secara bertahap hingga tahun 1979. Tetapi, masa pembebasan bukan
berarti akhir bagi bekas tahanan politik. Meskipun telah diberi pembinaan,
mereka tetap mengalami ketersingkiran sosial, seperti ditolak keluarganya
sendiri dan dikucilkan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Orde Baru
melarang bekas tahanan politik dan keturunannya bekerja sebagai ABRI, pegawai
negeri sipil, dan pegawai perusahaan vital lainnya seperti Telkom dan listrik.
Pemerintah juga mengeluarkan ketentuan kepada bekas tahanan politik berkaitan
dengan penggunaan kode-kode tertentu pada KTP mereka. Bekas tahanan politik
menggunakan kode ET (eks tapol) pada KTP-nya. Larangan lainnya yang tidak dibolehkan
bagi bekas tahanan politik adalah bepergian ke luar negeri, kecuali jika hendak
menunaikan ibadah haji. Juga tidak diizinkan memilih atau dipilih dalam
pemilihan umum. (hlm. 263).
Secara keseluruhan buku
hasil adaptasi tesis penulis pada Program Pascasarjana UI ini, tidak
dimaksudkan untuk membuka luka lama bangsa atau memupuk dendam sejarah.
Melainkan sebagai langkah untuk buka mata buka telinga terhadap sejarah yang
selama 32 tahun diselewengkan rezim Orde Baru lewat film Pengkhianatan G 30 S PKI, diorama Lubang Buaya, dan buku-buku teks
pelajaran sejarah. Harapannya tentu saja lewat pengungkapan sejarah ini adalah
kita dapat belajar dari masa lalu dan mengantisipasi kejadian yang sama tidak
berulang kembali di masa mendatang. Semoga.
Thomas Utomo, tinggal di Banyumas.
Saat ini bekerja sebagai guru di
SD Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.