Oleh
Ahmad Asroni
Indonesia
adalah negeri sarang penyamun. Predikat ini barangkali tepat disematkan untuk
Indonesia. Pasalnya, korupsi yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) ini telah merajalela
dan tumbuh subur di bumi nusantara. Sederet kasus korupsi telah terungkap. Sekedar
contoh adalah terkuaknya mega skandal Bank Century yang menguras uang rakyat
hingga 6,7 triliun rupiah. Selanjutnya,
kasus
korupsi proyek pembangunan Pusat Olahraga Hambalang, di Sentul, Bogor. Ada juga kasus simulator SIM yang
melibatkan petinggi kepolisian. Kasus
korupsi lainnya yang relatif
anyar adalah korupsi yang melibatkan para petinggi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), kasus Akil Mochtar, dan kasus korupsi keluarga Ratu Atut Chosiyah,
Gubernur Banten.
Korupsi memang menjadi fenomena yang
luar biasa di negeri ini. Sepertinya tidak ada lembaga yang kebal dari virus
korupsi. Virus korupsi telah menjangkiti seluruh lembaga, baik eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Tidak sedikit pejabat (pusat dan daerah) dan
anggota DPR/DPRD yang terlibat kasus korupsi. Menurut data Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri), sepanjang tahun 2004 hingga 2012, tercatat 2.976 anggota
DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Kasus korupsi
merupakan kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang
periode itu pula, terdapat 155 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Lucunya lagi, setelah keluar dari penjara, tidak sedikit mantan terpidana
korupsi yang menduduki jabatan strategis di birokrasi.
Pemerintah seolah tidak mampu
memberantas korupsi. Institusi hukum dan aparat penegak hukum yang diharapkan
dapat menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi malah banyak yang
terlibat konspirasi dengan para koruptor. Sudah tidak terhitung lagi aparat
penegak hukum yang tertangkap tangan bekerja sama dengan para koruptor. Upaya
remunerasi yang dicanangkan pemerintah di sejumlah kementerian nyatanya juga
tidak mampu menekan korupsi. Buktinya, Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika,
dua PNS di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, masih saja rakus dan leluasa menilep uang
rakyat hingga miliaran rupiah.
Pendidikan Anti-Korupsi
Memerangi
korupsi tidak bisa hanya melalui pendekatan hukum. Pendekatan hukum memang
telah sukses menyeret banyak koruptor ke meja hijau dan menjebloskannya ke
jeruji besi, namun pendekatan ini nyatanya gagal memberantas korupsi sampai
akar-akarnya. Kendatipun telah banyak lembaga dan regulasi pemberantasan
korupsi dibuat, namun jenis patologi sosial ini nyatanya tetap saja marak
terjadi dan bahkan kian menggurita di bumi nusantara.
Karena
korupsi telah “membudaya” di tengah masyarakat Indonesia, maka harus ada
langkah-langkah fundamental untuk memberantas dan mencegahnya. Salah satu
langkah tersebut adalah dengan mengajarkan Pendidikan Anti-Korupsi di institusi-institusi
pendidikan. Menurut saya, Pendidikan Anti-Korupsi merupakan instrumen yang
strategis dan efektif untuk menanamkan mental anti-korupsi kepada peserta
didik. Pasalnya, Pendidikan Anti-Korupsi dapat membentuk kepribadian dan mindset anti-korupsi, sehingga perilaku
koruptif yang telah “membudaya” dan mendarah-daging di Indonesia dapat
direduksi. Pendidikan Anti-Korupsi dapat diajarkan di setiap institusi dan
jenjang pendidikan di Indonesia, baik formal, informal maupun non-formal. Di
level pendidikan formal, Pendidikan Anti-Korupsi tidak harus menjadi mata
pelajaran/kuliah sendiri, namun dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran/kuliah
yang telah ada.
Implementasi Pendidikan
Anti-Korupsi di institusi pendidikan bukanlah hal yang sulit. Sebab, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
telah membuat modul Pendidikan Anti-Korupsi dari jenjang sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Di samping itu, Kemendikbud juga telah menggandeng KPK untuk menyelenggarakan
Training of Trainer (TOT) Pendidikan
Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi. KPK telah melatih lebih dari 1.000 dosen
di sepuluh wilayah perguruan tinggi di Indonesia dengan berbagai modul pencegahan
dan pemberantasan korupsi. Di level
sekolah, Kemendikbud bersama KPK juga telah menyelenggarakan TOT tentang Pendidikan
Anti-Korupsi bagi guru-guru di sejumlah daerah di Indonesia.
Selain Kemendikbud dan KPK, lembaga lain yang patut
diapresiasi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK belakangan ini getol melakukan
road show ke berbagai perguruan
tinggi guna mengkampanyekan urgensi Pendidikan Anti-korupsi. Salah satu anggota
BPK, Ali Masykur Musa, saat memberikan kuliah umum di hadapan
ribuan mahasiswa IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, Banten, pada hari Senin, 30 September 2013, menuturkan bahwa korupsi
merupakan tindak
kejahatan luar biasa. Perlu perjuangan secara sistemik untuk menangkal dan
mencabut korupsi beserta akar-akarnya. Salah satu tumpuan negara untuk
melemahkan budaya korupsi adalah peran aktif kampus untuk mengkader generasi
antikorupsi. Salah satu
caranya adalah dengan memasukkan kurikulum Pendidikan Anti-Korupsi. Cak Ali, panggilan akrab Ali Masykur Musa, lebih
lanjut mengatakan jika
pendidikan anti korupsi sudah dilakukan sejak dini, maka budaya korupsi bisa
terkikis (http://nasional.sindonews.com, 30 September 2013).
Menanti Peran Pendidik
Pendidikan
Anti-Korupsi akan berhasil manakala didukung oleh pendidik yang berkarakter
anti-korupsi. Bilamana pendidiknya memiliki karakter anti-korupsi, maka
pembelajaran Pendidikan Anti-Korupsi dengan mudah dapat dilakukan. Di samping
itu, sukses-tidaknya Pendidikan Anti-Korupsi bergantung pada kualitas para
pendidik. Kualitas pendidik sendiri antara lain dapat dilihat dari
penguasaannya terhadap materi pelajaran. Oleh karena itu, seorang pengampu mata
pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi dituntut menguasai materi pembelajaran.
Lebih
dari itu, pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi harus mampu
pula membuat atau merancang metode dan media pembelajaran yang tepat dan
menarik. Tujuannya, supaya peserta didik senantiasa senang dengan Pendidikan Anti-Korupsi. Dengan demikian, materi Pendidikan
Anti-Korupsi akan mudah dicerna dan terinternalisasi dalam diri mereka. Penggunaan
metode dan media pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
peserta didik.
Pengampu
mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi dapat menggunakan dan
mengelaborasikan berbagai metode pembelajaran seperti ceramah, diskusi, dongeng,
game, kuis, role playing (bermain peran), dan sebagainya. Dalam konteks ini,
pengampu mata pelajaran Pendidikan Anti-Korupsi di level Taman Kanak-kanak (TK)
dan SD dapat meneladani para pengajar/tutor Future Leaders Anti Corruption
(FLAC) Indonesia yang menggunakan dongeng sebagai metode pembelajaran
Pendidikan Anti-Korupsi. Buku-buku dongeng sendiri mudah didapatkan karena KPK telah
menerbitkannya seperti buku dongeng “Peternakan Kakek Tulus” yang dapat diunduh
secara cuma-cuma di sejumlah situs internet.
Sementara
terkait media pembelajaran, pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan
Anti-Korupsi dapat menggunakan berbagai media semisal internet, poster, film,
gambar, dan lain sebagainya. Guru mata pelajaran Pendidikan Anti-Korupsi di TK
dan SD misalnya dapat memanfaatkan gambar dan buku cerita sebagai media
pembelajaran Pendidikan Anti-Korupsi di kelasnya. Bagaimana pun juga anak-anak lebih
menyukai gambar dan cerita yang ringan. Oleh karena itu, guru mata pelajaran Pendidikan Anti-Korupsi harus
selektif dan kreatif dalam menggunakan media pembelajaran.
Selanjutnya,
model pembelajaran Pendidikan Anti-Korupsi tidak boleh hanya menekankan dimensi
kognitif saja, namun juga mencakup dimensi afektif dan psikomotorik. Dengan
kata lain, Pendidikan Anti-Korupsi tidak boleh hanya menekankan kemampuan
intelektual semata, namun juga menekankan sikap dan prilaku anti-korupsi.
Karena itu, pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi tidak boleh
hanya semata-mata mengajarkan kajian tentang korupsi, namun yang jauh lebih
penting adalah mendidik anak didiknya agar memiliki sikap dan prilaku anti-korupsi.
Dalam
konteks ini, pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi dapat
mengaplikasikan model pembelajaran learning
by doing, suatu model pembelajaran yang dibarengi dengan perbuatan nyata.
Terkait hal ini, pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi bersama
pihak sekolah/kampus misalnya dapat menginisiasi pendirian kantin kejujuran.
Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual berbagai kebutuhan peserta didik,
baik berupa makanan, minuman maupun perlengkapan peserta didik. Semua barang
dipajang tanpa ada penjaga. Kotak uang disediakan untuk menampung hasil
transaksi. Bila ada kembalian, maka peserta didik sendiri yang mengambil dan
menghitung jumlah kembaliannya. Melalui kantin kejujuran, peserta didik diajari
untuk bersikap jujur kendati tidak ada yang melihatnya. Meskipun bukan gagasan
yang baru, model pembelajaran semacam ini terbukti efektif untuk membentuk
karakter anti-korupsi pada diri peserta didik.
Keteladanan
menjadi faktor penting dalam Pendidikan Anti-Korupsi. Pengampu mata
pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi harus dapat menjadi teladan bagi anak
didiknya dalam penanaman budaya anti-korupsi. Ucapan, sikap, dan tindakan
mereka harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai anti-korupsi. Seorang pendidik
haram hukumnya melakukan tindakan koruptif. Bilamana ada pendidik yang
melakukannya, maka Pendidikan Anti-Korupsi akan menjadi kontraproduktif. Bahkan,
ada kemungkinan anak didiknya akan mengikuti jejak pendidiknya yang berprilaku
koruptif tersebut. Bagaimana pun juga peserta didik akan cenderung mengimitasi sikap
dan prilaku guru atau dosennya.
Dalam hal evaluasi pembelajaran,
pengampu mata pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi tidak boleh hanya
mendasarkan diri pada kemampuan kognitif semata, namun harus mendasarkan diri
pada sikap dan prilaku anak didiknya. Nilai-nilai anti-korupsi seperti
kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab harus menjadi pertimbangan utama
pendidik dalam pemberian nilai. Dengan kata lain, pengampu mata
pelajaran/kuliah Pendidikan Anti-Korupsi dalam menentukan nilai anak didiknya
tidak boleh hanya didasarkan pada kemampuan akademik semata, namun didasarkan
pula pada sejauhmana kesadaran anak didiknya dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai anti-korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Bila
semua itu dapat dilakukan, harapan untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai
salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia akan lebih mudah terwujud.
Dengan demikian, akan lahir generasi berkarakter anti-korupsi, sehingga
Indonesia ke depan akan
menjadi bangsa yang besar dan bersih dari praktik korupsi. Semoga!
Ahmad Asroni, penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta