Opini
Oleh M Abdullah Badri
Sekian tahun lalu, Pungkruk dikenal sebagai pantai
wisata yang menarik karena terdapat 50-an lebih warung kuliner. Sajian
andalannya ikan bakar dan pindang serani. Daerah yang masuk Kecamatan Mlonggo
Jepara itu, kini lebih dikenal sebagai wisata malam lelaki hidung belang. Siapa
datang (moro), bakal makmur (rejo). Mororejo, nama desa itu. Sekitar 7 Km dari
pusat kota Jepara.
Pada Ahad, 21 September 2014, Pungkruk akan
menyucikan diri sebagai sesama bumi kartini Jepara yang perlu diberdayakan
ritus keagamaannya. Anshor NU dan Fatayat NU Cabang Jepara bekerjasama menggelar
acara bertajuk “Bumi Jepara Aman dengan Pungkruk Bersholawat.” Seluruh warga,
Habaib dan Ulama serta Pejabat larut dalam dukungan tanpa pamrih. Bahkan
Anggota TNI membuat grup rebana khusus untuk memeriahkan acara yang berlangsung
di lapangan Pungkruk itu.
Apa yang dapat dibaca dari gelaran itu? Akankah
Pungkruk dan perempuan seksinya akan diusir hanya dengan sholawat? Bin Segaf,
tokoh Habaib Jepara, yang menggagas acara tersebut, dari awal tidak punya
maksud mengusir, apalagi melakukan sweeping
seperti gerakan radikal keagamaan di Jakarta. Peguyuban Pungkruk sepakat dengan
agenda tersebut karena bersholawat bukan mengusir orang beserta perbuatannya
dari Bumi Pungkruk. Sholawat adalah berdo’a.
Bersholawat:
Berdo’a
Dari kata shalla,
sholawat memiliki makna keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, ibadah dan do’a.
Melantunkan sholawat artinya melakukan ritual do’a. Sholawat umumnya hanya
ditujukan kepada Rasulullah Saw. agar Allah Swt. mengaruniakan rahmat kepada
Rasul dan Keluarganya sebagai bagian dari wasilah agar kita yang melakukan
sholawat juga mendapatkan petunjuk sebagaimana dititipkan Allah Swt. kepada
Rasul-Nya, Muhammad Saw.
Sholawat hanya wajib dalam shalat maktubah (wajib
lima waktu). Di luar itu, tidak ada halangan untuk melantunkan sholawat.
Kapanpun dan di manapun. Bahkan, sholawat merupakan satu-satunya ibadah yang
akan wushul (sampai) kepada
Rasulullah Saw. dan maqbul (diterima)
oleh Allah Swt. walau dilakukan dengan niat kurang baik semacam riya’ (pamer), sebagaimana orang
bersholawat karena pamer suara merdu dan keindahan lantunan musik.
Atas dasar itu, tidak berlebihan jika bumi Pungkruk
disemarakkan dengan sholawat. Tujuannya jelas, mendoakan agar masyarakat
Pungkruk dan warga Jepara mendapatkan kemakmuran (rejo), aman, dan senantiasa dalam bimbingan Syariah Rasulullah.
Tidak ada acara nahi
mungkar (mencegah kemungkaran) di acara “Pungkruk Bersholawat” itu. Amar ma’ruf (mengajak kebaikan) secara
langsung pun tidak ada. Yang ada hanya menyelenggarakan acara berdo’a bersama
dalam bentuk sholawat kepada Nabi. Dijamin, tidak akan ada kisruh yang butuh
tenaga keamanan berlebih. Semua dilangsungkan atas asas berdakwah dengan
selemah-lemahnya cara dakwah, yakni berdo’a.
Bumi dan
Kerendahan
Bin Segaf pun menyatakan kalau yang dido’akan itu
bumi Allah. Bukan orang-orang yang menghuni di atas bumi Allah bernama Pungkruk
itu. Orang-orang yang menghuni di atas Pungkruk biar Allah yang menilai. Yang
pasti bumi Pungkruk harus disholawatkan agar selamat dari angkara murka yang
barangkali akan berakibat pada wilayah Jepara pada umumnya.
Pemahaman itu berdasar pada Al-Qur’an Surat
at-Tahrim: 6 yang menyatakan “Jagalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka,”. Sesama sedulur Jepara, Bin Segaf
merasa perlu membangunkan bumi Pungkruk agar ikut mendo’akan penghuni di
atasnya tetap pada jalan benar. Jangan sampai makhluk di atasnya kelak jadi urup-urup (bahan bakar) neraka,
sebagaimana kata ayat selanjutnya: “Allati
waquduha an-nasu wa al-hijaroh/ yang bahan bakarnya dari manusia dan batu,”
Keterbukaan masyarakat Pungkruk menerima kedatangan
tamu-tamu para Ulama dan Habaib se-Jepara di acara tersebut jelas merupakan
tanda bahwa ada kerendahan hati warga setempat dan peguyuban yang selama ini
melindunginya dari gangguan luar.
Dalam buku The
Humble Approach (John Templeton: 1998), dijelaskan bagaimana sebuah
kerendahan hati jika dieksplorasi akan membawa seseorang pada pengenalan Sang
Pencipta yang lebih bermakna daripada ritual formal keagamaan yang ada.
Rendah hati membawa kepada rasa syukur, mudah
menerima pendapat orang lain, serta mudah mengerti maksud pikiran orang lain
daripada menggurui. Inilah barangkali yang bisa diambil dari hikmah acara “Pungkruk
Bersholawat” tersebut. Dakwah dengan kerendahan. Bukan dakwah dengan
keangkuhan.
M. Abdullah Badri,
Ketua Mahasiswa Ahluth Thariqoh
Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah (MATAN) Cabang
Jepara, tinggal di Jepara.