Hukum Akad Nikah Dua Kali Karena Weton -->
Cari Berita

Advertisement

Hukum Akad Nikah Dua Kali Karena Weton

WAWASANews.com
Jumat, 19 September 2014
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ribuan Kitab PDF
Konsultasi

Akad Nikah Dua Kali 


Jamak terjadi di masyarakat, melangsungkan akad nikah dua kali. Malam akad di hadapan kyai, atau tokoh agama setempat, siangnya melangsungkan ijab qabul lagi (ulang) di hadapan KUA, keluarga dan hadirin yang diundang. Bagaimana hukumnya?

--------------------------------
Tadjidun nikah (memperbaharui pernikahan), tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Siti Khadijah Ra yang dinikahi Nabi Muhammad 15 tahun sebelum kerasulan (Nabi diangkat Rasul pada usia 40 tahun, sementara nikah dengan
Khadijah pada usia 25 tahun) tidak melakukan tajdidun nikah. Tapi karena tidak ada larangan terhadapnya, maka, hal memperbaharui nikah dibolehkan. Ini mengikuti kaidah fiqih “al-ashlu fil al-asyaya’ al-ibahah, hatta yadullu al-dalil ala tahrimihi/pada awalnya segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada dalil yang menunjukkan mengharamkannya,”

Di atas adalah jawaban fiqih secara umum. Yang jadi masalah kemudian adalah:
  1. Bagaimana dengan status akad pertamanya? Apakah batal demi akad kedua?
  2. Logikanya, memperbaharui akad nikah dengan menyelenggarakan ulang prosesi ijab qabul sama dengan menyatakan akad nikah pertama rusak (fasakh), dan otomatis status hubungan suami-istri batal demi hukum (fiqih Islam), alias terjadi perceraian talak satu.
  3. Kalau terjadi pembaruan, apakah harus ada mahar untuk kedua kalinya, sebagai sesuatu yang wajib diberikan pengantin pria kepada calon mempelai istrinya itu?

Penjelasan
Kalangan fuqoha’ berbeda pendapat soal fasakh-nya akad nikah pertama karena diacarakannya tadjidn nikah. Imam Ibnu Hajar dalam karyanya Fathul Bari (Juz 13 hlm. 199) mengatakan bahwa kebanyakan fuqoha’ menyebut akad pertama tidak batal –jika syarat sah akad nikah terpenuhi ya- karena hanya dalam bentuknya saja. Ini mengacu pada keterangan hadits Ibnul Munir sebagaimana diriwayatkan Salamah:

Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku: “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at? Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.”  (Shohih Bukhori, No. 7208)

Dari keterangan hadits yang kemudian dijadikan dalil shohih bolehnya tadjid nikah di kalangan madzhab syafi’iyyah, dapat ditarik kesimpulan bahwa akad nikah pertama tidak batal dan dengan demikian tidak ada mahar serta tidak terjadi talak. Hak talak suami masih utuh 3 talak. Suami tetap langsung bisa menggauli istrinya tanpa menunggu masa iddah.

Ini berbeda dengan pendapat Syaih Ardabili dalam ta’lif (karya-nya), berjudul Al-Anwar Li A’malil Abror (Juz 2 hlm: 88). Ia menyatakan bahwa tadjidun nikah merupakan ikrar (iqrar/pengakuan) terjadinya perceraian atau perpisahan. Artinya, jatah talak suami yang 3, terkurangi 1. Tajdid nikah, dengan demikian, mengharuskan mahar wajib bagi istri.

------------------------
Dua pendapat di atas memiliki korelasi sosial dan hukum yang berbeda. Kalau akad diulang untuk mengokohkan (ta’kid), tidak ada masalah. Atau, dalam praktiknya, nikah pertama yang dilakukan pada malam hari itu diniatkan sebagai akad nikah secara sirri (rahasia) karena tidak dicatat oleh KUA. Akad kedua disebut sebagai akad formalitas karena KUA pada pagi harinya mencatat dalam surat nikah sah yang diakui secara hukum negara.

Masalahnya, banyak orang melakukan akad nikah kedua lit ta’kid (atas dasar memperkuat) karena alasan berharap keberuntungan soal rejeki, anak, karir dan lain sebagainya. Di kalangan masyarakat Jawa hal itu dilakukan karena ingin agar akad nikahnya terjadi sesuai dengan hitungan hari lahir istri dan suami yang mensyaratkan harus nikah pada hari, pasaran, dan bahkan waktu tertentu. Bahasa Jawanya, dicari Sri-nya. Demi mendapat keberuntungan.

Tajdidun nikah lit-ta’kid banyak terjadi karena alasan keberuntungan ini. Bukan karena ada hal yang membatalkan akad nikah pertama seperti misalnya ada seorang laki-laki yang menikahi perempuan hamil karena zina. Ada ulama’ yang yang mewajibkan menikahi ulang jika yang wanita yang hamil karena berzina tersebut belum tobat zina saat akad pertama selesai dilangsungkan. Ini menurut Imam Ibnu Hambal (Hambali). Tajdidun nikah jenis ini memperoleh pengabsahan syar’i untuk dikuatkan kembali agar diakui secara agama dan negara. Atau, orang menikah kembali karena menceraikan istrinya dan istrinya sudah rampung iddah. Ini wajib akad nikah ulang.

Nikah Bukan Mainan
Terjadi sebuah peristiwa. Akad nikah dilangsungkan dua kali. Yang pertama di hadapan KUA, legal secara hukum. Yang kedua, dilangsungkan lagi 5 hari berikutnya di hadapan Kyai. Umumnya, orang melakukan akad sirri dulu di hadapan kyai, baru di hadapan Pejabat KUA dan undangan. Ini beda. Setelah ditelisik, adanya keputusan nikah dua kali karena menengahi perselisihan antara orang tua dan calon mertua. Mertua menghendaki nikah tanggal 1, orang tua menginginkan akad pada tanggal 6 karena hari itu pas sesuai hitungan Kejawen yang diyakini bakal berpengaruh terhadap kebahagiaan hidup.

Dalam peristiwa ini, akad nikah pertama yang justru dianggap legal. Sedangkan yang kedua hanya ta’kid (memperkuat saja). Lalu, ta’kid untuk alasan syar’i apa atau alasan formal apa? Bagaimana hukum nikahnya? Jatuh talak satu kah? Dan adakah mahar lagi setelah mahar disebutkan di hadapan KUA pada tanggal 1 tersebut?

Kalau hanya mengacu pada dua ulama’ yang mengatakan boleh dan tidaknya tajdidun nikah, jawaban tinggal rampung memilih yang mana. Ulama’ Syafiiyyah menyatakan akad pertama tetap sah. Tidak ada mahar. Juga tidak jatuh talak. Selesai.

Jadi masalah, karena tajdidun nikah di sini ternyata untuk menguatkan akad nikah yang sudah legal. Akhirnya, akad nikah kedua secara lahir pun hanya acara main-main. Terkesan begitu. Padahal, nikah itu prosesi sakral yang di sana terjadi beban tanggungjwab kedua pasangan, hidup-mati, dunia-akhirat. Bahasa Al-Qur’an menyebutnya mitsaqon ghalidla (perjanjian yang berat).

Menikah jadi sakral karena ada hablun minallah wa hablun minan nas. Ada dua keluarga yang bersatu. Dua pikiran yang beradu. Jelas tidak layak buat main-main. Inilah makanya orang menyebut proses transformasi seorang laki-laki jadi suami lalu jadi bapak dan seoarang perempuan jadi istri lalu jadi ibu –dalam sebuah pernikahan, sebagai jalan menempuh hidup baru. 

Tajdidun nikah untuk kasus di atas mempermainkan syari’ah, kecuali dibalik, dari akad sirri menuju akad legal ala KUA. Ini ada unsur ta’kid. Tajdidun nikah untuk kasus di atas memiliki implikasi sosial dan ketauhidan. Jelas, pernikahan dua kali seperti ini lebih mementingkan gugon-tuhon (kepercayaan ramalan nasib) daripada ketauhidan, karena ta’kid tadjidun nikah bukan dalam kasus syar’i, melainkan kejawen.

Bagaimana setelah nikah hingga dua kali itu kehidupan sang pengantin  masih kekurangan, anak belum ada, rejeki belum berlimpah? Tajdid nikah lagi? Kalau sudah tajdid ke-3 belum juga baik hidup kedua pasangan itu, harus tajdid lagi? Apakah pernikahan hanya permainan merebut nasib? Naif.

Solusi untuk kasus di atas adalah:
Jangan meniatkan akad nikah pertama pada tanggal 1 yang di hadapan KUA itu sebagai akad resmi, tapi niatkanlah sebagai akad sirri walau di hadapan hadirin yang diundang. Sedangkan nikah yang kedua yang dilangsungkan tanggal 6 tersebut, niatkanlah sebagai ta’kid nikah untuk menghormati orang tua dan mertua yang selisih pendapat soal hari akad nikah. Insyaallah barokah. Ini bagian dari birrul walidain. Semua tergantung niat. Pasti. Niatkan juga mengikuti pendapat fuqoha’ syafiiyyah. Dengan demikian, tidak jatuh talak, tidak memberi mahar pada akad kedua, dan, istri bisa langsung dijima’ (disenggamai) secara halal. Inilah cara meniatkan nikah menempuh hidup baru tanpa ada unsur gawe dolanan (buat main-main) tata cara nikah syariah, yang ia bersumber langsung dari Nabi, dan secara Kejawen pun, berharap keberuntungan dari hari nikah boleh-boleh saja. 
Jual Kacamata Minus

close
Jual Flashdisk Isi Ribuan Buku Islam PDF